Showing posts with label Story. Show all posts
Showing posts with label Story. Show all posts

Friday, 17 August 2018

Persiapan Seleksi Beasiswa LPDP Tahun 2018

Assalamu'alaikum warohmatullahi wabarokatuh..

Nggak terasa udah empat tahun nggak posting tulisan lagi di blog ini. Do you miss me?? Hehe
Jadi selama empat tahun ke belakang sebenernya ada banyak banget hal yang udah dilewati. Mulai dari Kerja Praktek, Kuliah Kerja Lapangan, Kuliah Kerja Nyata, trus ngerjain tugas akhir yang berawal dari seminar proposal, sidang antara, dan pada akhirnya bisa sidang akhir setelah melewati masa-masa sulit yaitu revisi dosen pembimbing berjuta kali yang udah bikin pening kepala. Ya mungkin itu sih yang bikin saya jadi males nulis blog, gara-gara ada tanggungan tulisan lain yang harus saya kerjain. Tapi pas jaman masih ngerjain tugas akhir sempet bosen juga trus akhirnya nerima tawaran dari kakak alumni yang kerja di konsultan buat jadi surveyor untuk suatu pekerjaan.

Thursday, 24 October 2013

Bisa Dibilang, Habis Gelap Terbitlah Terang

Hari Kamis ini beneran hari yang nano-nano. Awalnya hari ini sangat ditunggu-tunggu karena hari ini tugas yang termasuk tugas besar mau dikumpulin, artinya kalau itu udah terlampaui saya bisa bernafas lega sejenak. Tapi di akhir cerita nanti, akan ada sedikit musibah tragis tapi bisa diambil hikmahnya.

Jadi gini, saat kuliah pagi tadi kebetulan tugas yang harusnya udah dikerjain temen saya ternyata belum selesai. Padahal harusnya pagi itu juga harus dikumpulin untuk presentasi. Akhirnya pagi itu juga saya sama temen-temen saya masih ribet ngerjain tugas tersebut. Alhamdulillah ternyata dosen mata kuliah itu nggak datang karena sepertinya sedang ada acara. Saya sama temen-temen jadi sedikit woles nyelesein tugas itu. Masih ada banyak waktu. Alhasil kami memutuskan untuk mengumpulkan tugas tersebut agak siang.

Saturday, 31 August 2013

Beberapa Hal yang Hanya Ada di Acara Wisuda

Selasa kemarin saya mendapat kehormatan untuk datang ke acara wisudanya saudara sepupu saya. Kebetulan dia kuliahnya di universitas yang dulu pernah jadi universitas idaman saya ketika SMA. Sayangnya, Allah ngasih saya jalan lain. Jadi ya udah saya syukurin aja apa yang udah Allah kasih ke saya sekarang :'D #alibi #sayapastikuat

Karena itu, saya bela-belain bolos kuliah untuk datang ke sana. Selain itu, karena saudara saya itu adalah saudara yang udah dari kecil akrab banget sama saya, saya nggak mau kehilangan momen yang sakral kaya gitu. Terus siapa tahu juga malah ketemu jodoh :x *eh

Nah, ketika saya sampai di lokasi wisudanya itu, saya mencoba memperhatikan beberapa hal yang kayanya cuma ada di acara wisuda. Apa aja sih?? Cekidot deh...

Wednesday, 14 August 2013

Meet and Greet Alumni ROHIS SMANSARI

Assalamu'alaikum readers :D

Tidak terasa sudah seminggu berlalu meninggalkan bulan suci Ramadhan. Hiks. Tapi alhamdulillah di hari Raya Idul Fitri kemarin saya bisa kumpul sama saudara-saudara saya yang merantau di Jakarta. Dan yang paling membuat ramai suasana Idul Fitri kemarin yaitu karena ada Luqman, keponakan saya satu-satunya (baru satu soalnya, hehe)

Tapi di sini saya mau flashback dulu ke tanggal 5 Agustus 2013 kemarin. Kebetulan waktu itu saya diundang untuk menghadiri acara Temu Alumni Rohis di SMA saya tercinta. Nah, kenapa saya datang? Ya jawabannya karena diundang itu tadi. Hehe. Nggak ding, saya datang karena saya penasaran bagaimana wajah-wajah teman-teman Rohis saya dulu. Awalnya saya sempet malas buat datang karena saat itu kan udah hari-hari mendekati Idul Fitri. Maunya di rumah aja biar nggak kecapaian pas hari H-nya. Hehe

Thursday, 25 July 2013

Tokoh dalam Surat Dahlan

Di sini saya hanya ingin beropini tentang karakter tokoh-tokoh yang ada di novel Surat Dahlan yang beberapa hari yang lalu saya pinjam dari sahabat saya. Jadi ini sifatnya no offense ya :)



Dahlan
Sebagai tokoh utama, di sini penulis menggambarkan beliau sebagai orang yang berani di masa mudanya. Berani mempertahankan pendapatnya dan juga berani mengambil resiko. Saya sangat salut dgn tokoh ini, baik fiksi maupun nyatanya. Perjalanan cinta yang diceritakan dalam novel ini juga tidak menggambarkan romansa picisan seperti yang banyak muncul di sinema ftv. Sebagai laki-laki ia tahu diri. Terlihat dari surat-surat yang diterima maupun dikirimnya untuk Aisha, ia tidak memaksa Aisha menunggunya meski awalnya ia sangat mencintai Aisha. Bahkan akhirnya ia memutuskan untuk melupakan gadis itu agar mereka berdua bisa tetap bahagia meski tidak bersama.

Saturday, 11 May 2013

Kemelut di Hati Tya

Malam minggu ini bingung mau nulis apa. Mungkin karena ini di rumah saya lagi ujan jadi galau. Kalau mau nulis pun takutnya nggak berkualitas tulisannya. Jadi mungkin kali ini saya ngepost cerpen yang saya buat waktu SMA aja ya. So, cekidot buat jomblowan jomblowati yang malam ini nggak tahu mau ngapain :p

“Gimana, Na? Udah mikirin jurusan buat perguruan tinggi nanti?,” tanya Tya pada sahabatnya.
“Bingung, Ya. Ini aja masih pusing mikir semesteran,” jawab Ana.
Ana dan Tya, mereka adalah dua sahabat yang dekat sekali. Walaupun baru kenal saat kelas sepuluh, mereka sudah bisa mengenal satu sama lain. Tak hanya itu, mereka sudah dua tahun ini tidak satu kelas, tapi mereka masih sering curhat satu sama lain. Tya sekarang menempati kelas dua belas empat, sedangkan Ana di kelas dua belas dua.
“Aku juga sih. Kalau kata bapakku semua itu udah ada yang ngatur, jalanin aja apa adanya. Gak usah dipikir sampai pusing gitu. Tapi gak munafik ya, ini fase tersulit yang aku alami dibanding fase-fase sebelumnya, SD dan SMP.”
Mereka kemudian terdiam, larut dalam pikiran masing-masing. Minggu depan tes semesteran dimulai. Dan itu artinya waktu mereka semakin sempit untuk memikirkan tujuan mereka setelah lulus SMA nanti. Sebenarnya mereka juga sudah bosan dengan sekolah mereka. Banyak kemunafikan di sana. Misalnya saja ketika ulangan atau tes. Ada peraturan yang menyebutkan bahwa siswa yang berbuat curang tidak akan diberi nilai, tapi mungkin itu hanya gertak sambal. Buktinya para pelakunya tetap bisa mendapat nilai bagus dan pujian yang bertubi-tubi. Namun bukan berarti mereka bisa meninggalkan sekolah itu begitu saja. Masih banyak hal yang belum mereka selesaikan.
“Lalu remidi kita bagaimana? Kita harus segera minta sama guru itu.”
“Entahlah. Aku ngikut teman-teman saja. Masih banyak yang belum remidi,” ujar Tya.
“Ya terserah kamu lah…”
“Oke. Sebaiknya kita pulang sekarang. Sepertinya mau hujan,” ajak Tya.
Percakapan di mushola sekolah itu diakhiri dengan kedatangan mendung. Keduanya pun pulang disertai kegalauan dalam hati mereka. Pikiran tentang masa depan seperti apa yang dihadapi masih menggelayut dalam otak mereka.
***
Malam harinya setelah selesai belajar, Tya membuka buku hariannya. Ia mencoba menuliskan beberapa hal yang dialaminya hari ini. Sejak kecil Tya memang suka menulis buku harian. Ibunya yang menyuruhnya.
“Kalau kamu menulis buku harian, semua hal yang pernah kamu alami tidak akan terhapus. Bahkan cucu-cucumu masih tetap bisa menikmati pengalaman hidupmu.”
Itulah yang terlintas setiap ia menuliskan sesuatu di buku hariannya itu. Selain itu, menulis adalah salah satu hal yang membuatnya tersenyum ketika Tya mengingat ibunya. Ibunya sudah tiada. Ketika Tya kelas enam, Allah memberikan penyakit pada ibunya dan penyakit itulah yang membawanya kembali pada Sang Pencipta. Dan sekarang Tya tinggal bersama ayah dan kedua saudara laki-lakinya. Hidup tanpa seorag ibu membentuknya menjadi seorang gadis yang agak tomboy. Meski begitu, dia juga seseorang yang sensitive.
Dear buku harianku…
Hari ini masih membosankan seperti hari-hari sebelumnya. Aku masih memikirkan masa depanku dan aku belum tau jalan keluar untuk remidiku. Sepertinya aku menginginkan jurusan pertanian namun aku masih belum berani untuk mengungkapkan pada semua orang…
Oiya, hari ini Fafa agak aneh. Dia agak brutal. Gak biasanya dia seperti itu. Semoga tidak sedang terjadi sesuatu padanya…
Mungkin cukup segini untuk malam ini. Aku lelah sekali.
Selamat malam…
Tya meletakkan buku hariannya di atas meja belajar. Kemudian ia menghampiri tempat tidurnya untuk segera tidur.
***
“Assalamu’alaikum, Pak. Tya berangkat dulu.”
“Wa’alaikumsalam. Hati-hati ya, nak.”
Udara pagi yang disisipi polusi kembali menyambutnya. Rumah Tya memang berada di dekat jalan raya. Setiap pagi ia berangkat sekolah dengan berjalan kaki karena sekolahnya memang hanya berjarak seratus meter dari rumahnya.
Sesampainya di kelas, dia hanya bisa menghela nafas panjang.
“Huft… kembali lagi ke kelas ini dengan segala ketidakpedulian mereka.”
Tya memang tidak suka dengan kelasnya yang sekarang. Bukan karena dia tidak bisa beradaptasi, tapi lebih karena banyak temannya yang terlalu egois dengan urusan mereka sendiri. Berbeda dengan teman-temannya kelas sebelas dulu. Mereka sangat kompak dan peduli satu sama lain.
“Ya, kok baru berangkat sih? Udah ditungguin Fafa dari tadi lho… hahaha,” ledek Ryan, salah satu teman kelas Tya.
Brakk!
“Apaan sih? Gak lucu tau gak?!” gertaknya sambil mendobrak meja.
Fafa, yang ditulis Tya dalam buku hariannya semalam adalah teman kelas cowoknya yang entah kenapa bisa dijadikan bahan ejekan oleh teman-temannya. Padahal di antara keduanya tidak ada rasa cinta sama sekali. Mungkin ini bermula ketika kelas sebelas dulu, ketika salah seorang guru menerangkan dan memberi contoh dengan nama mereka berdua. Dan karena kelas dua belas ini mereka sekelas lagi, teman-teman jadi semakin sering menjodoh-jodohkan mereka berdua.
Namun, Tya masih peduli dengan Fafa walaupun ia menjadi agak jauh dengan Fafa karena dijodoh-jodohkan teman-temannya. Bagi Tya, Fafa adalah seorang teman yang alim. Dia sangat anti dengan yang namanya pacaran. Meski begitu, terkadang dia juga suka melakukan hal bodoh dengan teman-temannya. Tapi itu semua dia lakukan hanya untuk menghibur temannya.
Yang membuat Tya agak khawatir adalah sifat Fafa akhir-akhir ini. Dia menjadi agak brutal. Bahkan, ada yang bilang dia mabuk-mabukan. Tya hanya tidak ingin ada temannya yang terjerumus ke hal yang negative.
Ketika jam istirahat, Ana menghampiri Tya ke kelasnya. Ana ingin meminjam buku yang dijanjikan Tya. Tya memang sering di kelas, dia jarang ke kantin. Kalau ada teman, dia lebih suka ke mushola untuk sholat.
“Mana bukunya, Ya? Kamu bawa, kan?,” tanya Ana.
“Iya, bentar aku ambil dulu.”
Buku yang dibawa Tya berjudul Aku Bisa. Sebuah buku yang menurut Tya bagus karena ia banyak mendapat motivasi setelah membaca buku itu. Dan sekarang ia ingin meminjamkannya kepada sahabatnya itu karena akhir-akhir ini Ana sering mengeluh.
“Kamu masih pusing mikirin semesteran nanti?”
“Iya, Ya. Gak tau kenapa ya… Temen-temenku di kelas itu orangnya pintar-pintar. Aku takut aja nanti nilaiku bakal dijajah mereka. Apalagi akhir-akhir ini aku males banget buat belajar karena gak punya motivasi. Makanya aku pengen banget pinjem buku kamu ini.”
“Tapi kamu itu lebay deh. Kan tesnya masih Senin depan. Jadi ya masih ada kesempatan banget lah buat belajar. Kalau kamu udah mikir kaya gitu, sama aja kamu mensugesti diri kamu sendiri buat jadi orang yang gagal.”
“Aku ngerti. Tapi aku itu emang gini, suka parno-an. Makasih udah ngingetin ya… Eh, kamu masih sering nulis, Ya?”
“Masih. Kenapa?”
“Kemarin aku baca di internet ada lomba nulis gitu. Kayaknya kamu harus ikut deh. Hadiahnya lumayan lho! Tapi aku lupa alamatnya, nanti ku sms. Ya udah, aku balik dulu ya.”
“Ya insyaAllah lah… Iya.”
Tya memang suka menulis. Tapi kalau untuk sebuah lomba entah dia siap atau tidak. Akhir-akhir ini banyak hal yang ada di pikirannya. Dia penasaran sekali dengan apa yang sebenarnya terjadi pada Fafa. Dia bisa saja meminta tolong pada seseorang untuk mencari tahu, tapi jika dia melakukannya pasti teman-temannya akan mengira bahwa Tya benar-benar menyukai Fafa. Bahkan, dia belum menceritakan tentang ini kepada Ana.
***
Akhirnya suatu malam Tya menyempatkan untuk menuliskan unek-uneknya tentang Fafa di catatan Facebook. Tentu saja tanpa menyebut nama Fafa. Lalu, tidak sengaja Ana membukanya. Tiba-tiba handphone Tya menyanyikan lagu Doraemon, pertanda ada sms masuk. Ternyata dari Ana.
Ya, kamu kenapa? Sepertinya lagi galau. Catatan di Facebook itu kamu tulis buat siapa?
Tya pun akhirnya tak bisa menyimpannya  lagi. Ia memutuskan untuk menceritakan kekhawatirannya itu pada Ana. Dengan segera, ia membalas sms sahabatnya itu. Sudah pasti ia juga meminta Ana untuk merahasiakan hal itu. Tak berapa lama kemudian, Ana membalas sms-nya.
Ooh… kamu khawatir sama keadaan Fafa sekarang. Kamu cinta ya sama Fafa? *justkidd hehe. Aku ngerti kok, tapi kamu gak usah terlalu peduli sama dia. Dia kan orangnya juga apatis gitu. Udah lah,gak usah terlalu dipikirin J
Sebenarnya apa yang dikatakan Ana ada benarnya. Tapi entahlah, apa Tya benar-benar bisa menghilangkan perasaan khawatirnya itu. Dia memang tidak mencintai Fafa, tapi semenjak mereka diejek teman-temannya sebagai “pasangan”, tanpa sengaja dia menjadi sering memperhatikan Fafa. Ada keunikan dalam diri Fafa yang membuat Tya penasaran. Terkadang Fafa bisa terlihat seperti sosok Sinichi yang bijaksana tapi terkadang Fafa juga terlihat seperti tokoh Sinchan yang “aneh”.
Tuut tuut
Ada pesan lagi yang masuk ke handphone-nya. Dari Ana lagi.
Oiya, ya. Alamat situs yang lomba nulis itu ini www.blablabla.com. Coba kamu cek ya J
Jam dinding di kamarnya menunjukkan pukul sepuluh malam. Seharusnya dia sudah tidur, tapi dia malah menyalakan laptopnya dan mencoba untuk membuka alamat web yang diberikan Ana.
Dalam situs itu, ia menemukan beberapa info tentang ketentuan-ketentuan untuk lomba itu. Dan yang paling menarika adalah hadiahnya. Ada hadiah uang yang cukup banyak jika berhasil menjadi pemenang. Tya pun memutuskan untuk mengikuti lomba itu. Dia ingin mendapatkan uang itu dan setidaknya dapat digunakan untuk mengurangi beban bapaknya.
***
Untuk sejenak Tya ingin melupakan pikirannya tentang Fafa. Dia ingin fokus pada tulisannya. Dan sekarang Tya menjadi sering mengunjungi perpustakaan. Lalu suatu saat Tya mendengar percakapan dua orang cowok di sana.
“Kasihan ya si Fafa. Adiknya masih belum sembuh. Dia jadi berubah sekarang.”
“Iya. Tapi bagaimana lagi, obatnya mahal sih.”
“Kita doakan saja ada orang yang bersedia membantu keluarganya.”
Deg!
“Jadi selama ini dia begitu karena adiknya sakit?” batin Tya.
Kenyataan yang ia dengar dari perpustakaan cukup menyita perhatiannya lagi. Setidaknya ada satu titik terang yang menjelaskan tentang keadaan Fafa sekarang. Di kelas dia mencoba mengikuti pelajaran tapi matanya sesekali melirik Fafa. Di saat itu juga, Tya melihat Ryan menempelkan sesuatu di punggung Fafa. Dan Fafa menyadarinya.
“Brengsek loe! Kalau loe mau, ambil aja dia. Gue gak butuh!” gertak Fafa tiba-tiba. Ia segera menyobek tulisan yang bertuliskan Tya cinta Fafa itu.
Sakit bercampur kaget. Itulah yang dirasakan Tya. Bukan hanya karena dia diperlakukan seperti itu tetapi juga karena melihat kelakuan Fafa barusan. Padahal dulu baju Fafa pernah ditulisi dengan tulisan seperti itu oleh Ryan, dan Fafa hanya diam seperti biasa dan memasang wajah innocent-nya. Tya pun berpikir bahwa ia harus membantu Fafa. Dia tidak bisa berpura-pura tidak peduli. Dan entah bagaimana, Tya merubah niatnya untuk memberikan uang hasil lomba pada adik Fafa jika ia menang nanti.
***
Hari ini hari Senin, di sekolah Tya mulai diadakan tes semesteran. Itu artinya tempat duduk para siswa diacak. Tya tidak satu ruangan dengan Fafa. Ini sedikit memberi keuntungan untuknya. Dia bisa fokus mengerjakan soal.
Setelah bel pulang, Ana menghampiri Tya. Dia ingin mengembalikan buku yang dipinjamnya tempo hari.
“Ini, Ya. Makasih ya… Eh, gimana? Kamu jadi ikut lomba yang itu?”
“InsyaAllah jadi, Na. tapi belum aku kirim. Kayaknya nanti sore.”
“Oke… Terus soal Fafa? Dia masih brutal?”
“Ya gitu lah… Jangan ngomongin dia dulu deh. Aku agak males.”
Mereka berdua akhirnya memilih untuk membicarakan tentang soal yang dihadapi oleh mereka tadi. Bagi mereka, soal itu cukup sulit. Banyak yang belum dijelaskan oleh guru mereka. Setelah puas dengan obrolan mereka, mereka berdua pun akhirnya pulang.
Sorenya, Tya mengirim tulisannya ke alamat yang kemarin ia buka. Ia berharap tulisannya bagus dan ia bisa menang. Keinginan untuk membantu Fafa begitu kuat di hatinya. Sayangnya dia masih harus menunggu dua minggu untuk pengumumannya.
***
Dua minggu kemudian, tepat pada hari Minggu, ada sebuah surat yang diantarkan Pak Pos untuk Tya. Ternyata itu adalah surat yang berisi pengumuman hasil lomba kemarin. Di surat itu tertulis bahwa Tya adalah juara dua dari lomba itu. Meski begitu, Tya tetap bersyukur. Keterangan lain yang ia baca adalah dia harus mengambil hadiah lewat bank.
Seninnya, Tya segera pergi ke bank untuk mengambil uang itu. Alhamdulillah jumlahnya lumayan banyak. Tanpa pikir panjang, Tya juga langsung mengirim uang itu ke alamat rumah Fafa. Dia berharap uang itu dapat digunakan untuk membantu kesembuhan adik Fafa, dan dia juga berharap Fafa akan kembali menjadi seperti dulu lagi.

Selesai

Saturday, 2 March 2013

Are you Really Wanna Die?

Tanaman itu adalah tanaman yang sangat terlihat dari tanaman lain. Tumbuh di antara semak-semak belukar di samping bangunan yang megah tapi sudah kuno. Dan aku melihat tanaman itu tampak layu. Daunnya yang kuning tergolek lemas seakan tidak ada semangat lagi untuk hidup. Sebagian batangnya juga terlihat kering.
Mungkin perasaanku sekarang sama seperti tanaman ini. Layu dan hampir mati. Kemarin aku melakukan kesalahan lagi. Entah sudah berapa kali aku sering melakukan hal bodoh ini. Aku lupa mematikan air kran. Padahal aku tahu itu adalah hal yang mudah untuk dilakukan. Namun, selalu saja sifat lupa itu singgah dalam diriku. Akibatnya, ibu memarahiku lagi. Tapi yang membuatku sedih ibu tidak memarahiku dengan membentak melainkan dengan menangis. Oh, aku paling tidak bisa melihat tangisan ibu. Bodohnya aku ini. Rasanya ingin mati saja.
Ah oh, tapi bukankah sudah lama aku memikirkan tentang kematian ini? Sejak ayahku tidak ada, kata-kata "Ah, lebih baik mati saja" sudah tak terhitung berapa kali aku ucapkan. Teman sebangkuku sampai jenuh mendengarnya. Ya, aku mengatakan kata-kata itu tidak hanya pada diriku sendiri. Dulu ketika aku masih berumur sebelas tahun, kira-kira enam tahun yang lalu, aku sering dibuat jengkel dengan hal-hal yang tidak penting di sekolah. Dan, kata-kata itu selalu muncul di akhir kekesalanku.
Tapi sampai hari ini aku masih hidup. Aku rasa Tuhan belum cukup yakin dengan keinginanku itu. Atau mungkin sebenarnya aku sudah mati? Dan orang-orang di sekitarku sekarang ini adalah orang-orang mati? Tetapi mengapa jantungku masih berdetak? Ah, persetan dengan pikiran ini. Aku tahu aku memang masih hidup.
Sekarang apa yang harus kulakukan? Mengamati tanaman ini sampai benar-benar mati? Emm, kedengarannya seru. Tapi tidak bisa, aku tidak punya banyak waktu untuk melakukannya. Uncle Syn akan datang dan mengajakku jalan-jalan. Aku tidak akan menyiakan kesempatan ini. Mungkin dengan pergi bersamanya akan membuatku sedikit menghilangkan rasa bersalahku.
"Evellyn, pamanmu sudah datang. Kau jadi pergi dengannya tidak?".
Suara ibu mengagetkanku. Sepertinya ia sudah melupakan kejadian kemarin. Aku memang belum minta maaf. Bagiku kata maaf hanya omong kosong. Aku takkan pernah tahu jika besok aku akan melakukannya lagi. Karena itu aku lebih memilih untuk merenungi kesalahanku di belakang rumah ini dan berharap aku besok tidak akan mengulanginya lagi.
"Ya, bu. Aku segera datang."
Aku masuk dan mengambil ransel yang sudah aku siapkan. Mencium tangan ibu dan mencubit pipi Jenny kecil yang menggemaskan. Lalu menghampiri Uncle Syn.
"Jannet, aku pinjam anakmu dulu. Kami akan pulang sebelum sore hari."
"Ya, hati-hatilah. Oh! Jangan masukkan kertas itu ke mulutmu, Jenny!"

Bersambung...

Tuesday, 19 February 2013

Let's Talk about Love

Pada udah dengerin lagu mbak Melly sama mas Anto belum? Iya, judul postingan kali ini emang sengaja saya bikin sama karena saya terinspirasi nulis gara-gara lagu itu. Muehehe...

Oke, langsung aja ya. Kalian pernah nggak sih fallin in love? Pasti dalam hati semua mengiyakan :D

Semua orang normal pasti ngerasain lah. Soalnya ini emang fitrah, bawaan dari lahir, dan anugerah dari Allah. Kalau ada yang nggak, mungkin karena ada penyakit dalam hatinya. Saya aja mulai suka sama laki-laki udah dari TK. Hehehe
Cinta nggak harus sama lawan jenis sih, bisa sama keluarga, temen, bahkan makhluk hidup atau bahkan benda sekali pun. Tapi hari ini saya mau ngomongin yang cinta sama lawan jenis aja, biar lebih greget. Sebelumnya simak dulu cerita di bawah ini. Cekidot :D

Empat tahun yang lalu, Aldo dan Vera menjalani masa pedekate. Di sekolah, Vera sering manggil-manggil Aldo. Ketika Aldo menoleh, Vera cuma bisa senyum dan kelihatan malu-malu. Teman-teman Aldo yang tahu kejadian itu langsung menggoda mereka berdua. Hal itu terjadi beberapa minggu hingga Vera akhirnya punya nomer HP Aldo begitu pula sebaliknya. Awalnya Aldo memang biasa saja. Namun setelah melihat usaha Vera, dia pun jatuh hati juga. Saat itu, mereka belum pacaran. Akan tetapi rasanya nggak ada hari tanpa saling ngasih kabar. Baik itu cuma tanya udah makan, lagi apa, dan hanya sekedar ngasih ucapan selamat pagi. Lama-lama Vera menginginkan hubungan yang lebih, dia ingin ada status di antara mereka berdua. Akhirnya Aldo mengiyakan. Aldo berencana menembak Vera di hari pelepasan yang kebetulan akan diadakan beberapa minggu lagi. Vera puas mendengarnya. Akhirnya hari yang dinanti itu tiba. Ketika acara pelepasan dimulai keduanya tidak memilih duduk berdua, tetapi duduk dengan teman masing-masing. Hari itu Vera sangat bahagia. Bagaimana tidak, ia akan segera lulus dan mendapatkan seorang kekasih. Dengan sabar ia menanti acara itu selesai. Di akhir acara, ternyata Aldo ikut mengisi acara dengan bandnya. Aldo memegang bass. Vera tersenyum bangga, dalam hati ia berbisik "Dia keren sekali." Setelah selesai manggung, Aldo menghampiri Vera yang duduk di kursi penonton. Lalu Aldo berlutut di depan Vera dan mengatakan kata-kata yang ditunggu Vera. "Maukah kamu jadi pacarku?". Dengan mantap Vera mengangguk senang. Teman-temannya yang tahu kejadian itu langsung menyorakinya. Sebulan kemudian, mereka galau dengan hasil pengumuman penerimaan di SMA. Mereka berdua diterima, tapi sayangnya sekolah yang mereka pilih berbeda meski memang masih satu kota. Mereka jadi jarang bertemu tapi komunikasi nyambung selalu. Menjalani hubungan yang berbeda dengan masa sebelumnya, Vera dan Aldo mencoba mengerti. Vera hanya meminta Aldo untuk menemuinya hanya jika sangat rindu. Berjalan di bulan keenam, mulai ada rasa tidak enak di hati Vera. Setelah ia mengikuti acara kerohanian di sekolahnya, Vera memang berubah. Sekarang ia sudah menggunakan jilbab. Ia pun sering mengikuti kajian-kajian di masjid sekolah. Suatu hari, kebetulan kajian yang disampaikan oleh gurunya adalah mengenai hubungan laki-laki dan perempuan. Dalam agama Islam, hubungan antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram, haram hukumnya. Jalan satu-satunya agar menjadi halal adalah dengan mengucapkan ijab kabul alias nikah. Gurunya juga menjelaskan kenapa Allah mengatur demikian, yaitu agar tidak terjadi hal yang tidak diinginkan dan untuk mencegah kekacauan di bumi ini. Hukuman bagi yang melanggar aturan ini di akhirat nanti pun sangat mengerikan. Vera teringat hubungannya dengan Aldo. Ia sadar selama ini memang hubungannya dengan Aldo disembunyikan dari orang tuanya karena takut dimarahi. Lalu ia berpikir, jika dengan Allah, tidak mungkin ia bisa menyembunyikan hubungannya. Akhirnya malamnya, Vera berniat untuk memutuskan hubungannya dengan Aldo. Ia tidak bisa terus-terusan dihantui perasaan berdosa. Vera mulai menulis pesan untuk Aldo.
Do, aku rasa kita harus putus. Aku sadar hubungan ini sebenernya nggak benar. Aku minta maaf karena dulu aku yang memulainya. Aku bisa nungguin kamu jika saatnya tiba. Aku harap pada akhirnya nanti kita dipertemukan oleh Allah :'(
Membaca pesan itu, Aldo terkejut. Hatinya hancur berkeping-keping. Ia mengerti alasan kenapa Vera memutuskannya tapi ia belum bisa menerima. Air matanya pun meleleh. Dibacanya lagi pesan itu, emosinya semakin menjadi. Antara sedih, kecewa, sakit hati, dan marah menjadi satu. Lalu akhirnya ia membalas pesan Vera.
Ya udah. Mulai sekarang jangan hubungi aku lagi!
Vera tidak menyangka jika jawaban Aldo akan seperti itu. Namun ia tahu, karena saat itu perasaannya sama seperti Aldo. Hancur. Namun ia berusaha tetap tabah karena memang semua ini dilakukannya karena Allah.
Anggap aja di gambar ketiga yang mecahin hatinya yang cewek :D

Gimana? Cukup menyentuh kan ceritanya? Atau malah terlalu alay? Hahaha... Tapi yang namanya orang jatuh cinta kan memang sesperti itu. Dari yang awalnya dibilang norak, pas jatuh cinta rasanya jadi indah-indah aja. Paribasane, uyah kroso gulo :p
Nah, dari cerita di atas kita bisa ngambil beberapa hikmah.

Pertama, pacaran itu identik dengan boros. Iya lah, dari yang awalnya smsan, telpon-telponan, sampai antar jemput. Bukankah itu semua membutuhkan uang? Coba kalau single. Duitnya bisa ditabung, trus nanti bisa buat beli kwaci. Nggak nggak, becanda kali...
Kedua, fikiran jadi susah fokus. Misal kalo ada masalah, keduanya jadi saling mikir gimana jalan keluar biar hubungannya bisa harmonis lagi. Nah, jadinya urusan yang lebih penting, misal belajar atau ibadah jadi nggak sungguh-sungguh ngerjainnya.
Ketiga, yang pasti bakal nambah dosa. Walaupun sekarang ada yang pake istilah pacaran syari'ah, tetep aja dosanya makin numpuk. Soalnya pasti tetep ada unsur nafsunya. Pacaran syari'ah itu bisanya ya hanya lewat nikah itu tadi.

Jadi, nggak usah lah yang namanya pacaran. Kalau yang udah terlambat, udah putusin aja! Hargailah perasaan para tuna asmara macam bang Alit :p
Kalau emang bener-bener cinta ya langsung aja dilamar. Endingnya moga kaya mbak Melly sama mas Anto yang udah bikin lagu yang keren ini :3


Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...