Saturday, 11 May 2013

Kemelut di Hati Tya

Malam minggu ini bingung mau nulis apa. Mungkin karena ini di rumah saya lagi ujan jadi galau. Kalau mau nulis pun takutnya nggak berkualitas tulisannya. Jadi mungkin kali ini saya ngepost cerpen yang saya buat waktu SMA aja ya. So, cekidot buat jomblowan jomblowati yang malam ini nggak tahu mau ngapain :p

“Gimana, Na? Udah mikirin jurusan buat perguruan tinggi nanti?,” tanya Tya pada sahabatnya.
“Bingung, Ya. Ini aja masih pusing mikir semesteran,” jawab Ana.
Ana dan Tya, mereka adalah dua sahabat yang dekat sekali. Walaupun baru kenal saat kelas sepuluh, mereka sudah bisa mengenal satu sama lain. Tak hanya itu, mereka sudah dua tahun ini tidak satu kelas, tapi mereka masih sering curhat satu sama lain. Tya sekarang menempati kelas dua belas empat, sedangkan Ana di kelas dua belas dua.
“Aku juga sih. Kalau kata bapakku semua itu udah ada yang ngatur, jalanin aja apa adanya. Gak usah dipikir sampai pusing gitu. Tapi gak munafik ya, ini fase tersulit yang aku alami dibanding fase-fase sebelumnya, SD dan SMP.”
Mereka kemudian terdiam, larut dalam pikiran masing-masing. Minggu depan tes semesteran dimulai. Dan itu artinya waktu mereka semakin sempit untuk memikirkan tujuan mereka setelah lulus SMA nanti. Sebenarnya mereka juga sudah bosan dengan sekolah mereka. Banyak kemunafikan di sana. Misalnya saja ketika ulangan atau tes. Ada peraturan yang menyebutkan bahwa siswa yang berbuat curang tidak akan diberi nilai, tapi mungkin itu hanya gertak sambal. Buktinya para pelakunya tetap bisa mendapat nilai bagus dan pujian yang bertubi-tubi. Namun bukan berarti mereka bisa meninggalkan sekolah itu begitu saja. Masih banyak hal yang belum mereka selesaikan.
“Lalu remidi kita bagaimana? Kita harus segera minta sama guru itu.”
“Entahlah. Aku ngikut teman-teman saja. Masih banyak yang belum remidi,” ujar Tya.
“Ya terserah kamu lah…”
“Oke. Sebaiknya kita pulang sekarang. Sepertinya mau hujan,” ajak Tya.
Percakapan di mushola sekolah itu diakhiri dengan kedatangan mendung. Keduanya pun pulang disertai kegalauan dalam hati mereka. Pikiran tentang masa depan seperti apa yang dihadapi masih menggelayut dalam otak mereka.
***
Malam harinya setelah selesai belajar, Tya membuka buku hariannya. Ia mencoba menuliskan beberapa hal yang dialaminya hari ini. Sejak kecil Tya memang suka menulis buku harian. Ibunya yang menyuruhnya.
“Kalau kamu menulis buku harian, semua hal yang pernah kamu alami tidak akan terhapus. Bahkan cucu-cucumu masih tetap bisa menikmati pengalaman hidupmu.”
Itulah yang terlintas setiap ia menuliskan sesuatu di buku hariannya itu. Selain itu, menulis adalah salah satu hal yang membuatnya tersenyum ketika Tya mengingat ibunya. Ibunya sudah tiada. Ketika Tya kelas enam, Allah memberikan penyakit pada ibunya dan penyakit itulah yang membawanya kembali pada Sang Pencipta. Dan sekarang Tya tinggal bersama ayah dan kedua saudara laki-lakinya. Hidup tanpa seorag ibu membentuknya menjadi seorang gadis yang agak tomboy. Meski begitu, dia juga seseorang yang sensitive.
Dear buku harianku…
Hari ini masih membosankan seperti hari-hari sebelumnya. Aku masih memikirkan masa depanku dan aku belum tau jalan keluar untuk remidiku. Sepertinya aku menginginkan jurusan pertanian namun aku masih belum berani untuk mengungkapkan pada semua orang…
Oiya, hari ini Fafa agak aneh. Dia agak brutal. Gak biasanya dia seperti itu. Semoga tidak sedang terjadi sesuatu padanya…
Mungkin cukup segini untuk malam ini. Aku lelah sekali.
Selamat malam…
Tya meletakkan buku hariannya di atas meja belajar. Kemudian ia menghampiri tempat tidurnya untuk segera tidur.
***
“Assalamu’alaikum, Pak. Tya berangkat dulu.”
“Wa’alaikumsalam. Hati-hati ya, nak.”
Udara pagi yang disisipi polusi kembali menyambutnya. Rumah Tya memang berada di dekat jalan raya. Setiap pagi ia berangkat sekolah dengan berjalan kaki karena sekolahnya memang hanya berjarak seratus meter dari rumahnya.
Sesampainya di kelas, dia hanya bisa menghela nafas panjang.
“Huft… kembali lagi ke kelas ini dengan segala ketidakpedulian mereka.”
Tya memang tidak suka dengan kelasnya yang sekarang. Bukan karena dia tidak bisa beradaptasi, tapi lebih karena banyak temannya yang terlalu egois dengan urusan mereka sendiri. Berbeda dengan teman-temannya kelas sebelas dulu. Mereka sangat kompak dan peduli satu sama lain.
“Ya, kok baru berangkat sih? Udah ditungguin Fafa dari tadi lho… hahaha,” ledek Ryan, salah satu teman kelas Tya.
Brakk!
“Apaan sih? Gak lucu tau gak?!” gertaknya sambil mendobrak meja.
Fafa, yang ditulis Tya dalam buku hariannya semalam adalah teman kelas cowoknya yang entah kenapa bisa dijadikan bahan ejekan oleh teman-temannya. Padahal di antara keduanya tidak ada rasa cinta sama sekali. Mungkin ini bermula ketika kelas sebelas dulu, ketika salah seorang guru menerangkan dan memberi contoh dengan nama mereka berdua. Dan karena kelas dua belas ini mereka sekelas lagi, teman-teman jadi semakin sering menjodoh-jodohkan mereka berdua.
Namun, Tya masih peduli dengan Fafa walaupun ia menjadi agak jauh dengan Fafa karena dijodoh-jodohkan teman-temannya. Bagi Tya, Fafa adalah seorang teman yang alim. Dia sangat anti dengan yang namanya pacaran. Meski begitu, terkadang dia juga suka melakukan hal bodoh dengan teman-temannya. Tapi itu semua dia lakukan hanya untuk menghibur temannya.
Yang membuat Tya agak khawatir adalah sifat Fafa akhir-akhir ini. Dia menjadi agak brutal. Bahkan, ada yang bilang dia mabuk-mabukan. Tya hanya tidak ingin ada temannya yang terjerumus ke hal yang negative.
Ketika jam istirahat, Ana menghampiri Tya ke kelasnya. Ana ingin meminjam buku yang dijanjikan Tya. Tya memang sering di kelas, dia jarang ke kantin. Kalau ada teman, dia lebih suka ke mushola untuk sholat.
“Mana bukunya, Ya? Kamu bawa, kan?,” tanya Ana.
“Iya, bentar aku ambil dulu.”
Buku yang dibawa Tya berjudul Aku Bisa. Sebuah buku yang menurut Tya bagus karena ia banyak mendapat motivasi setelah membaca buku itu. Dan sekarang ia ingin meminjamkannya kepada sahabatnya itu karena akhir-akhir ini Ana sering mengeluh.
“Kamu masih pusing mikirin semesteran nanti?”
“Iya, Ya. Gak tau kenapa ya… Temen-temenku di kelas itu orangnya pintar-pintar. Aku takut aja nanti nilaiku bakal dijajah mereka. Apalagi akhir-akhir ini aku males banget buat belajar karena gak punya motivasi. Makanya aku pengen banget pinjem buku kamu ini.”
“Tapi kamu itu lebay deh. Kan tesnya masih Senin depan. Jadi ya masih ada kesempatan banget lah buat belajar. Kalau kamu udah mikir kaya gitu, sama aja kamu mensugesti diri kamu sendiri buat jadi orang yang gagal.”
“Aku ngerti. Tapi aku itu emang gini, suka parno-an. Makasih udah ngingetin ya… Eh, kamu masih sering nulis, Ya?”
“Masih. Kenapa?”
“Kemarin aku baca di internet ada lomba nulis gitu. Kayaknya kamu harus ikut deh. Hadiahnya lumayan lho! Tapi aku lupa alamatnya, nanti ku sms. Ya udah, aku balik dulu ya.”
“Ya insyaAllah lah… Iya.”
Tya memang suka menulis. Tapi kalau untuk sebuah lomba entah dia siap atau tidak. Akhir-akhir ini banyak hal yang ada di pikirannya. Dia penasaran sekali dengan apa yang sebenarnya terjadi pada Fafa. Dia bisa saja meminta tolong pada seseorang untuk mencari tahu, tapi jika dia melakukannya pasti teman-temannya akan mengira bahwa Tya benar-benar menyukai Fafa. Bahkan, dia belum menceritakan tentang ini kepada Ana.
***
Akhirnya suatu malam Tya menyempatkan untuk menuliskan unek-uneknya tentang Fafa di catatan Facebook. Tentu saja tanpa menyebut nama Fafa. Lalu, tidak sengaja Ana membukanya. Tiba-tiba handphone Tya menyanyikan lagu Doraemon, pertanda ada sms masuk. Ternyata dari Ana.
Ya, kamu kenapa? Sepertinya lagi galau. Catatan di Facebook itu kamu tulis buat siapa?
Tya pun akhirnya tak bisa menyimpannya  lagi. Ia memutuskan untuk menceritakan kekhawatirannya itu pada Ana. Dengan segera, ia membalas sms sahabatnya itu. Sudah pasti ia juga meminta Ana untuk merahasiakan hal itu. Tak berapa lama kemudian, Ana membalas sms-nya.
Ooh… kamu khawatir sama keadaan Fafa sekarang. Kamu cinta ya sama Fafa? *justkidd hehe. Aku ngerti kok, tapi kamu gak usah terlalu peduli sama dia. Dia kan orangnya juga apatis gitu. Udah lah,gak usah terlalu dipikirin J
Sebenarnya apa yang dikatakan Ana ada benarnya. Tapi entahlah, apa Tya benar-benar bisa menghilangkan perasaan khawatirnya itu. Dia memang tidak mencintai Fafa, tapi semenjak mereka diejek teman-temannya sebagai “pasangan”, tanpa sengaja dia menjadi sering memperhatikan Fafa. Ada keunikan dalam diri Fafa yang membuat Tya penasaran. Terkadang Fafa bisa terlihat seperti sosok Sinichi yang bijaksana tapi terkadang Fafa juga terlihat seperti tokoh Sinchan yang “aneh”.
Tuut tuut
Ada pesan lagi yang masuk ke handphone-nya. Dari Ana lagi.
Oiya, ya. Alamat situs yang lomba nulis itu ini www.blablabla.com. Coba kamu cek ya J
Jam dinding di kamarnya menunjukkan pukul sepuluh malam. Seharusnya dia sudah tidur, tapi dia malah menyalakan laptopnya dan mencoba untuk membuka alamat web yang diberikan Ana.
Dalam situs itu, ia menemukan beberapa info tentang ketentuan-ketentuan untuk lomba itu. Dan yang paling menarika adalah hadiahnya. Ada hadiah uang yang cukup banyak jika berhasil menjadi pemenang. Tya pun memutuskan untuk mengikuti lomba itu. Dia ingin mendapatkan uang itu dan setidaknya dapat digunakan untuk mengurangi beban bapaknya.
***
Untuk sejenak Tya ingin melupakan pikirannya tentang Fafa. Dia ingin fokus pada tulisannya. Dan sekarang Tya menjadi sering mengunjungi perpustakaan. Lalu suatu saat Tya mendengar percakapan dua orang cowok di sana.
“Kasihan ya si Fafa. Adiknya masih belum sembuh. Dia jadi berubah sekarang.”
“Iya. Tapi bagaimana lagi, obatnya mahal sih.”
“Kita doakan saja ada orang yang bersedia membantu keluarganya.”
Deg!
“Jadi selama ini dia begitu karena adiknya sakit?” batin Tya.
Kenyataan yang ia dengar dari perpustakaan cukup menyita perhatiannya lagi. Setidaknya ada satu titik terang yang menjelaskan tentang keadaan Fafa sekarang. Di kelas dia mencoba mengikuti pelajaran tapi matanya sesekali melirik Fafa. Di saat itu juga, Tya melihat Ryan menempelkan sesuatu di punggung Fafa. Dan Fafa menyadarinya.
“Brengsek loe! Kalau loe mau, ambil aja dia. Gue gak butuh!” gertak Fafa tiba-tiba. Ia segera menyobek tulisan yang bertuliskan Tya cinta Fafa itu.
Sakit bercampur kaget. Itulah yang dirasakan Tya. Bukan hanya karena dia diperlakukan seperti itu tetapi juga karena melihat kelakuan Fafa barusan. Padahal dulu baju Fafa pernah ditulisi dengan tulisan seperti itu oleh Ryan, dan Fafa hanya diam seperti biasa dan memasang wajah innocent-nya. Tya pun berpikir bahwa ia harus membantu Fafa. Dia tidak bisa berpura-pura tidak peduli. Dan entah bagaimana, Tya merubah niatnya untuk memberikan uang hasil lomba pada adik Fafa jika ia menang nanti.
***
Hari ini hari Senin, di sekolah Tya mulai diadakan tes semesteran. Itu artinya tempat duduk para siswa diacak. Tya tidak satu ruangan dengan Fafa. Ini sedikit memberi keuntungan untuknya. Dia bisa fokus mengerjakan soal.
Setelah bel pulang, Ana menghampiri Tya. Dia ingin mengembalikan buku yang dipinjamnya tempo hari.
“Ini, Ya. Makasih ya… Eh, gimana? Kamu jadi ikut lomba yang itu?”
“InsyaAllah jadi, Na. tapi belum aku kirim. Kayaknya nanti sore.”
“Oke… Terus soal Fafa? Dia masih brutal?”
“Ya gitu lah… Jangan ngomongin dia dulu deh. Aku agak males.”
Mereka berdua akhirnya memilih untuk membicarakan tentang soal yang dihadapi oleh mereka tadi. Bagi mereka, soal itu cukup sulit. Banyak yang belum dijelaskan oleh guru mereka. Setelah puas dengan obrolan mereka, mereka berdua pun akhirnya pulang.
Sorenya, Tya mengirim tulisannya ke alamat yang kemarin ia buka. Ia berharap tulisannya bagus dan ia bisa menang. Keinginan untuk membantu Fafa begitu kuat di hatinya. Sayangnya dia masih harus menunggu dua minggu untuk pengumumannya.
***
Dua minggu kemudian, tepat pada hari Minggu, ada sebuah surat yang diantarkan Pak Pos untuk Tya. Ternyata itu adalah surat yang berisi pengumuman hasil lomba kemarin. Di surat itu tertulis bahwa Tya adalah juara dua dari lomba itu. Meski begitu, Tya tetap bersyukur. Keterangan lain yang ia baca adalah dia harus mengambil hadiah lewat bank.
Seninnya, Tya segera pergi ke bank untuk mengambil uang itu. Alhamdulillah jumlahnya lumayan banyak. Tanpa pikir panjang, Tya juga langsung mengirim uang itu ke alamat rumah Fafa. Dia berharap uang itu dapat digunakan untuk membantu kesembuhan adik Fafa, dan dia juga berharap Fafa akan kembali menjadi seperti dulu lagi.

Selesai

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...