Friday 25 October 2013

Kampung Mutihan

Dalam mendeskripsikan tentang kota, seorang penulis mempunyai pilihan dalam hal sudut pandang. Seringkali orang hanya menggambarkan bahwa kota adalah sebuah ruang yang dipadati oleh gedung-gedung tinggi dan aktivitas ekonomi. Orang lupa bahwa jika dilakukan zoom in terhadap gambaran itu, kita dapat melihat bahwa kampung-kampung yang hidup dengan kesederhanaannya ada di sana. Kampung adalah bagian dari kota dan kampung juga lah yang membentuk kota. Di dalam kampung terjadi siklus yang setiap hari berjalan. Mulai dari ibu-ibu yang bangun pagi untuk membeli sayur untuk memasak sampai pada kesibukan bapak-bapak pada malam hari untuk meronda misalnya.

Pura Indra Prasta
Dan apa yang ingin saya tulis di sini adalah sebuah kisah tentang kampung di Kota Solo, yaitu Kampung Mutihan yang terletak di Kelurahan Sondakan. Sebuah kampung yang merupakan bekas Kerajaan Pajang. Namun saat ini sudah beralih menjadi sebuah kampung yang terkenal dengan pembuatan batik, seperti kampung lain di wilayah Kecamatan Laweyan lainnya. Ada juga yang menyebutkan bahwa kampung ini adalah tempat para priyayi karena kata mutihan yang bisa diartikan golongan orang baik, dan memang di sebelah kampung tersebut terdapat Kampung Kabangan yang kadang bisa diartikan sebagai tempat orang-orang yang "jahat". Selain itu ada yang berpendapat bahwa dulunya Kampung Mutihan digunakan untuk memutihkan kain atau yang biasa disebut mori sedangkan Kampung Kabangan untuk mengerjakan pewarnaan warna merah. Akan tetapi pendapat ini tidak bisa dibuktikan karena tidak ditemukan bak besar yang digunakan sebagai tempat pewarnaan tersebut.

Di Kampung Mutihan terdapat sebuah pura yang merupakan pura terbesar di antara lima pura di Solo. Pura ini bernama Pura Indra Prasta. Letak pura ini sangat strategis karena jaraknya dari jalan besar lumayan dekat. Mungkin sekitar seratus meter masuk ke permukiman warga. Jalannya memang agak kecil karena memang jenis jalannya merupakan jalan lokal. Badan jalannya hampir seukuran dengan satu truk besar sehingga jika ada dua mobil yang masuk harus lewat secara bergantian. Namun, di depan pura ini terdapat sebuah halaman luas milik warga yang bisa digunakan untuk parkir ketika ada kegiatan di dalam pura. Seperti saat saya berkunjung ke sana, kebetulan hari itu adalah hari Minggu. Banyak kendaraan yang parkir di pinggir jalan yang tidak seberapa besar itu. Menurut seorang bapak yang menjaga parkir, saat itu sedang ada acara sembahyang di dalam pura. Mendengar pernyataan itu kemudian saya dan teman-teman saya memilih untuk menunggu sembari membeli sarapan di jalan yang agak jauh dari pura itu.

Setelah kami selesai sarapan, terlihat kawasan pura sudah lengang. Kami pun masuk dan mulai mewawancarai beberapa orang yang ada di sana. Karena orang yang kami cari sebagai narasumber sudah tidak ada, kami pun memilih untuk mewawancarai pedagang di pura tersebut. Namanya adalah Bapak Nyoman, beliau tinggal di daerah Kartasura. Menurutnya acara sembahyang di Pura Indra Prasta dilakukan pada hari Minggu karena pada hari itu orang tidak bekerja sehingga bisa sekaligus kumpul dengan keluarga. Namun ada juga yang melakukan sembahyang di hari lain jika sedang ada waktu. Pura tersebut tidak hanya difungsikan untuk sembahyang tapi juga difungsikan sebagai Play Group, tentunya bagi anak-anak penganut agama Hindu karena di situ diajarkan tentang ajaran agama Hindu. Pura Indra Prasta dibangun pada tahun 1986. Hal ini terlihat dari foto yang dipasang di area Play Group. Foto itu adalah foto acara-acara yang telah dilaksanakan oleh pengurus pura tersebut. Baru sekitar tahun 2006, pura Indra Prasta diresmikan oleh Joko Widodo.
Bagian dalam Pura Indra Prasta

Selain pura, Kampung Mutihan juga mempunyai kawasan pengrajin batik. Di sini banyak warga yang berprofesi sebagai pengrajin batik. Mereka bekerja dari hari Senin sampai Sabtu sekitar pukul 08.00-16.00. Kain yang sudah dicap dikeringkan di luar rumah atau di jembatan di dekat kawasan tersebut. Terlihat indah saat kainnya terbang melambai-lambai ditiup angin. Sebenarnya apa yang mereka lakukan ini menyebabkan timbulnya limbah. Namun menurut Bapak Siswanto, salah satu pemilik usaha batik di kawasan tersebut, sudah ada upaya untuk mengelola limbah yang berasal dari pewarnaan batik sehingga sekarang tidak terlalu membahayakan.

Rumah-rumah di Kampung Mutihan bisa dibilang sudah padat. Interaksi sosial antarwarga biasanya dilakukan di depan rumah saat sore hari. Mereka memanfaatkan waktu selepas kerja untuk melepas penat dengan berbincang dengan tetangga. Ada juga yang mengajak jalan-jalan anak-anaknya. Anak kecil bermain di jalan lokal dengan bersepeda atau bermain lompat tali. Seringkali mereka juga bermain di lapangan milik tiga kampung.

Kata mereka saat kami tanyai tentang rumah yang banyak tertutup pagar, ini terjadi karena warga yang merasa resah setelah terjadi peristiwa pencurian laptop. Untuk beberapa informasi yang kami korek dari mereka, kami harus rela mengeluarkan beberapa lembar uang. Dasar anak kecil.

Mereka juga mengatakan kalau pedagang keliling yang lewat kampung mereka sangat beragam. Mulai dari penjual sayur, bakpao, siomay, dan juga bakpao. Mereka terkadang bermain pada malam hari juga, ketika selesai belajar. Untuk hari tertentu, mereka mengkuti pengajian TPA di masjid kampung. Ada beberapa masjid yang mengadakan TPA sehingga mereka memiliki jadwal mengaji yang berbeda, sesuai masjid yang mereka pilih.

Di Kampung Mutihan diadakan bazar yang berisi baju, makanan, dan alat rumah tangga. Letaknya di sebelah gedung futsal yang biasa digunakan bermain anak muda. Bazar tersebut baru buka setelah pukul 18.00.

Bersambung

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...