“Gimana, Na? Udah mikirin jurusan buat
perguruan tinggi nanti?,” tanya Tya pada sahabatnya.
“Bingung, Ya. Ini aja masih pusing mikir
semesteran,” jawab Ana.
Ana dan Tya, mereka adalah dua sahabat
yang dekat sekali. Walaupun baru kenal saat kelas sepuluh, mereka sudah bisa
mengenal satu sama lain. Tak hanya itu, mereka sudah dua tahun ini tidak satu
kelas, tapi mereka masih sering curhat satu sama lain. Tya sekarang menempati
kelas dua belas empat, sedangkan Ana di kelas dua belas dua.
“Aku juga sih. Kalau kata bapakku semua
itu udah ada yang ngatur, jalanin aja apa adanya. Gak usah dipikir sampai
pusing gitu. Tapi gak munafik ya, ini fase tersulit yang aku alami dibanding
fase-fase sebelumnya, SD dan SMP.”
Mereka kemudian terdiam, larut dalam
pikiran masing-masing. Minggu depan tes semesteran dimulai. Dan itu artinya
waktu mereka semakin sempit untuk memikirkan tujuan mereka setelah lulus SMA
nanti. Sebenarnya mereka juga sudah bosan dengan sekolah mereka. Banyak
kemunafikan di sana. Misalnya saja ketika ulangan atau tes. Ada peraturan yang
menyebutkan bahwa siswa yang berbuat curang tidak akan diberi nilai, tapi
mungkin itu hanya gertak sambal. Buktinya para pelakunya tetap bisa mendapat
nilai bagus dan pujian yang bertubi-tubi. Namun bukan berarti mereka bisa
meninggalkan sekolah itu begitu saja. Masih banyak hal yang belum mereka
selesaikan.
“Lalu remidi kita bagaimana? Kita harus
segera minta sama guru itu.”
“Entahlah. Aku ngikut teman-teman saja.
Masih banyak yang belum remidi,” ujar Tya.
“Ya terserah kamu lah…”
“Oke. Sebaiknya kita pulang sekarang.
Sepertinya mau hujan,” ajak Tya.
Percakapan di mushola sekolah itu
diakhiri dengan kedatangan mendung. Keduanya pun pulang disertai kegalauan
dalam hati mereka. Pikiran tentang masa depan seperti apa yang dihadapi masih
menggelayut dalam otak mereka.
***
Malam harinya setelah selesai belajar,
Tya membuka buku hariannya. Ia mencoba menuliskan beberapa hal yang dialaminya
hari ini. Sejak kecil Tya memang suka menulis buku harian. Ibunya yang
menyuruhnya.
“Kalau kamu menulis buku harian, semua
hal yang pernah kamu alami tidak akan terhapus. Bahkan cucu-cucumu masih tetap
bisa menikmati pengalaman hidupmu.”
Itulah yang terlintas setiap ia menuliskan
sesuatu di buku hariannya itu. Selain itu, menulis adalah salah satu hal yang
membuatnya tersenyum ketika Tya mengingat ibunya. Ibunya sudah tiada. Ketika
Tya kelas enam, Allah memberikan penyakit pada ibunya dan penyakit itulah yang
membawanya kembali pada Sang Pencipta. Dan sekarang Tya tinggal bersama ayah
dan kedua saudara laki-lakinya. Hidup tanpa seorag ibu membentuknya menjadi
seorang gadis yang agak tomboy. Meski begitu, dia juga seseorang yang
sensitive.
Dear
buku harianku…
Hari
ini masih membosankan seperti hari-hari sebelumnya. Aku masih memikirkan masa
depanku dan aku belum tau jalan keluar untuk remidiku. Sepertinya aku
menginginkan jurusan pertanian namun aku masih belum berani untuk mengungkapkan
pada semua orang…
Oiya,
hari ini Fafa agak aneh. Dia agak brutal. Gak biasanya dia seperti itu. Semoga
tidak sedang terjadi sesuatu padanya…
Mungkin
cukup segini untuk malam ini. Aku lelah sekali.
Selamat
malam…
Tya meletakkan buku hariannya di atas
meja belajar. Kemudian ia menghampiri tempat tidurnya untuk segera tidur.
***
“Assalamu’alaikum, Pak. Tya berangkat
dulu.”
“Wa’alaikumsalam. Hati-hati ya, nak.”
Udara pagi yang disisipi polusi kembali
menyambutnya. Rumah Tya memang berada di dekat jalan raya. Setiap pagi ia
berangkat sekolah dengan berjalan kaki karena sekolahnya memang hanya berjarak
seratus meter dari rumahnya.
Sesampainya di kelas, dia hanya bisa
menghela nafas panjang.
“Huft… kembali lagi ke kelas ini dengan
segala ketidakpedulian mereka.”
Tya memang tidak suka dengan kelasnya
yang sekarang. Bukan karena dia tidak bisa beradaptasi, tapi lebih karena
banyak temannya yang terlalu egois dengan urusan mereka sendiri. Berbeda dengan
teman-temannya kelas sebelas dulu. Mereka sangat kompak dan peduli satu sama
lain.
“Ya, kok baru berangkat sih? Udah
ditungguin Fafa dari tadi lho… hahaha,” ledek Ryan, salah satu teman kelas Tya.
Brakk!
“Apaan sih? Gak lucu tau gak?!”
gertaknya sambil mendobrak meja.
Fafa, yang ditulis Tya dalam buku
hariannya semalam adalah teman kelas cowoknya yang entah kenapa bisa dijadikan
bahan ejekan oleh teman-temannya. Padahal di antara keduanya tidak ada rasa
cinta sama sekali. Mungkin ini bermula ketika kelas sebelas dulu, ketika salah
seorang guru menerangkan dan memberi contoh dengan nama mereka berdua. Dan
karena kelas dua belas ini mereka sekelas lagi, teman-teman jadi semakin sering
menjodoh-jodohkan mereka berdua.
Namun, Tya masih peduli dengan Fafa
walaupun ia menjadi agak jauh dengan Fafa karena dijodoh-jodohkan
teman-temannya. Bagi Tya, Fafa adalah seorang teman yang alim. Dia sangat anti
dengan yang namanya pacaran. Meski begitu, terkadang dia juga suka melakukan
hal bodoh dengan teman-temannya. Tapi itu semua dia lakukan hanya untuk
menghibur temannya.
Yang membuat Tya agak khawatir adalah
sifat Fafa akhir-akhir ini. Dia menjadi agak brutal. Bahkan, ada yang bilang
dia mabuk-mabukan. Tya hanya tidak ingin ada temannya yang terjerumus ke hal
yang negative.
Ketika jam istirahat, Ana menghampiri
Tya ke kelasnya. Ana ingin meminjam buku yang dijanjikan Tya. Tya memang sering
di kelas, dia jarang ke kantin. Kalau ada teman, dia lebih suka ke mushola
untuk sholat.
“Mana bukunya, Ya? Kamu bawa, kan?,”
tanya Ana.
“Iya, bentar aku ambil dulu.”
Buku yang dibawa Tya berjudul Aku Bisa. Sebuah buku yang menurut Tya
bagus karena ia banyak mendapat motivasi setelah membaca buku itu. Dan sekarang
ia ingin meminjamkannya kepada sahabatnya itu karena akhir-akhir ini Ana sering
mengeluh.
“Kamu masih pusing mikirin semesteran
nanti?”
“Iya, Ya. Gak tau kenapa ya…
Temen-temenku di kelas itu orangnya pintar-pintar. Aku takut aja nanti nilaiku
bakal dijajah mereka. Apalagi akhir-akhir ini aku males banget buat belajar
karena gak punya motivasi. Makanya aku pengen banget pinjem buku kamu ini.”
“Tapi kamu itu lebay deh. Kan tesnya
masih Senin depan. Jadi ya masih ada kesempatan banget lah buat belajar. Kalau
kamu udah mikir kaya gitu, sama aja kamu mensugesti diri kamu sendiri buat jadi
orang yang gagal.”
“Aku ngerti. Tapi aku itu emang gini,
suka parno-an. Makasih udah ngingetin
ya… Eh, kamu masih sering nulis, Ya?”
“Masih. Kenapa?”
“Kemarin aku baca di internet ada lomba
nulis gitu. Kayaknya kamu harus ikut deh. Hadiahnya lumayan lho! Tapi aku lupa
alamatnya, nanti ku sms. Ya udah, aku
balik dulu ya.”
“Ya insyaAllah lah… Iya.”
Tya memang suka menulis. Tapi kalau
untuk sebuah lomba entah dia siap atau tidak. Akhir-akhir ini banyak hal yang
ada di pikirannya. Dia penasaran sekali dengan apa yang sebenarnya terjadi pada
Fafa. Dia bisa saja meminta tolong pada seseorang untuk mencari tahu, tapi jika
dia melakukannya pasti teman-temannya akan mengira bahwa Tya benar-benar
menyukai Fafa. Bahkan, dia belum menceritakan tentang ini kepada Ana.
***
Akhirnya suatu malam Tya menyempatkan
untuk menuliskan unek-uneknya tentang Fafa di catatan Facebook. Tentu saja tanpa menyebut nama Fafa. Lalu, tidak sengaja
Ana membukanya. Tiba-tiba handphone
Tya menyanyikan lagu Doraemon, pertanda ada sms masuk. Ternyata dari Ana.
Ya,
kamu kenapa? Sepertinya lagi galau. Catatan di Facebook itu kamu tulis buat
siapa?
Tya pun akhirnya tak bisa
menyimpannya lagi. Ia memutuskan untuk
menceritakan kekhawatirannya itu pada Ana. Dengan segera, ia membalas sms
sahabatnya itu. Sudah pasti ia juga meminta Ana untuk merahasiakan hal itu. Tak
berapa lama kemudian, Ana membalas sms-nya.
Ooh…
kamu khawatir sama keadaan Fafa sekarang. Kamu cinta ya sama Fafa? *justkidd
hehe. Aku ngerti kok, tapi kamu gak usah terlalu peduli sama dia. Dia kan
orangnya juga apatis gitu. Udah lah,gak usah terlalu dipikirin J
Sebenarnya apa yang dikatakan Ana ada
benarnya. Tapi entahlah, apa Tya benar-benar bisa menghilangkan perasaan
khawatirnya itu. Dia memang tidak mencintai Fafa, tapi semenjak mereka diejek
teman-temannya sebagai “pasangan”, tanpa sengaja dia menjadi sering
memperhatikan Fafa. Ada keunikan dalam diri Fafa yang membuat Tya penasaran.
Terkadang Fafa bisa terlihat seperti sosok Sinichi yang bijaksana tapi terkadang
Fafa juga terlihat seperti tokoh Sinchan yang “aneh”.
Tuut tuut
Ada pesan lagi yang masuk ke handphone-nya. Dari Ana lagi.
Oiya,
ya. Alamat situs yang lomba nulis itu ini www.blablabla.com. Coba
kamu cek ya J
Jam dinding di kamarnya menunjukkan
pukul sepuluh malam. Seharusnya dia sudah tidur, tapi dia malah menyalakan laptopnya
dan mencoba untuk membuka alamat web yang diberikan Ana.
Dalam situs itu, ia menemukan beberapa
info tentang ketentuan-ketentuan untuk lomba itu. Dan yang paling menarika
adalah hadiahnya. Ada hadiah uang yang cukup banyak jika berhasil menjadi pemenang.
Tya pun memutuskan untuk mengikuti lomba itu. Dia ingin mendapatkan uang itu
dan setidaknya dapat digunakan untuk mengurangi beban bapaknya.
***
Untuk sejenak Tya ingin melupakan
pikirannya tentang Fafa. Dia ingin fokus pada tulisannya. Dan sekarang Tya
menjadi sering mengunjungi perpustakaan. Lalu suatu saat Tya mendengar
percakapan dua orang cowok di sana.
“Kasihan ya si Fafa. Adiknya masih belum
sembuh. Dia jadi berubah sekarang.”
“Iya. Tapi bagaimana lagi, obatnya mahal
sih.”
“Kita doakan saja ada orang yang
bersedia membantu keluarganya.”
Deg!
“Jadi selama ini dia begitu karena
adiknya sakit?” batin Tya.
Kenyataan yang ia dengar dari
perpustakaan cukup menyita perhatiannya lagi. Setidaknya ada satu titik terang
yang menjelaskan tentang keadaan Fafa sekarang. Di kelas dia mencoba mengikuti
pelajaran tapi matanya sesekali melirik Fafa. Di saat itu juga, Tya melihat
Ryan menempelkan sesuatu di punggung Fafa. Dan Fafa menyadarinya.
“Brengsek loe! Kalau loe mau, ambil aja
dia. Gue gak butuh!” gertak Fafa tiba-tiba. Ia segera menyobek tulisan yang
bertuliskan Tya cinta Fafa itu.
Sakit bercampur kaget. Itulah yang
dirasakan Tya. Bukan hanya karena dia diperlakukan seperti itu tetapi juga
karena melihat kelakuan Fafa barusan. Padahal dulu baju Fafa pernah ditulisi
dengan tulisan seperti itu oleh Ryan, dan Fafa hanya diam seperti biasa dan
memasang wajah innocent-nya. Tya pun
berpikir bahwa ia harus membantu Fafa. Dia tidak bisa berpura-pura tidak
peduli. Dan entah bagaimana, Tya merubah niatnya untuk memberikan uang hasil
lomba pada adik Fafa jika ia menang nanti.
***
Hari ini hari Senin, di sekolah Tya
mulai diadakan tes semesteran. Itu artinya tempat duduk para siswa diacak. Tya
tidak satu ruangan dengan Fafa. Ini sedikit memberi keuntungan untuknya. Dia
bisa fokus mengerjakan soal.
Setelah bel pulang, Ana menghampiri Tya.
Dia ingin mengembalikan buku yang dipinjamnya tempo hari.
“Ini, Ya. Makasih ya… Eh, gimana? Kamu
jadi ikut lomba yang itu?”
“InsyaAllah jadi, Na. tapi belum aku
kirim. Kayaknya nanti sore.”
“Oke… Terus soal Fafa? Dia masih
brutal?”
“Ya gitu lah… Jangan ngomongin dia dulu
deh. Aku agak males.”
Mereka berdua akhirnya memilih untuk
membicarakan tentang soal yang dihadapi oleh mereka tadi. Bagi mereka, soal itu
cukup sulit. Banyak yang belum dijelaskan oleh guru mereka. Setelah puas dengan
obrolan mereka, mereka berdua pun akhirnya pulang.
Sorenya, Tya mengirim tulisannya ke
alamat yang kemarin ia buka. Ia berharap tulisannya bagus dan ia bisa menang.
Keinginan untuk membantu Fafa begitu kuat di hatinya. Sayangnya dia masih harus
menunggu dua minggu untuk pengumumannya.
***
Dua minggu kemudian, tepat pada hari
Minggu, ada sebuah surat yang diantarkan Pak Pos untuk Tya. Ternyata itu adalah
surat yang berisi pengumuman hasil lomba kemarin. Di surat itu tertulis bahwa
Tya adalah juara dua dari lomba itu. Meski begitu, Tya tetap bersyukur.
Keterangan lain yang ia baca adalah dia harus mengambil hadiah lewat bank.
Seninnya, Tya segera pergi ke bank untuk
mengambil uang itu. Alhamdulillah jumlahnya lumayan banyak. Tanpa pikir
panjang, Tya juga langsung mengirim uang itu ke alamat rumah Fafa. Dia berharap
uang itu dapat digunakan untuk membantu kesembuhan adik Fafa, dan dia juga
berharap Fafa akan kembali menjadi seperti dulu lagi.
Selesai
No comments:
Post a Comment