Tanaman itu adalah tanaman yang sangat terlihat dari tanaman lain. Tumbuh di antara semak-semak belukar di samping bangunan yang megah tapi sudah kuno. Dan aku melihat tanaman itu tampak layu. Daunnya yang kuning tergolek lemas seakan tidak ada semangat lagi untuk hidup. Sebagian batangnya juga terlihat kering.
Mungkin perasaanku sekarang sama seperti tanaman ini. Layu dan hampir mati. Kemarin aku melakukan kesalahan lagi. Entah sudah berapa kali aku sering melakukan hal bodoh ini. Aku lupa mematikan air kran. Padahal aku tahu itu adalah hal yang mudah untuk dilakukan. Namun, selalu saja sifat lupa itu singgah dalam diriku. Akibatnya, ibu memarahiku lagi. Tapi yang membuatku sedih ibu tidak memarahiku dengan membentak melainkan dengan menangis. Oh, aku paling tidak bisa melihat tangisan ibu. Bodohnya aku ini. Rasanya ingin mati saja.
Mungkin perasaanku sekarang sama seperti tanaman ini. Layu dan hampir mati. Kemarin aku melakukan kesalahan lagi. Entah sudah berapa kali aku sering melakukan hal bodoh ini. Aku lupa mematikan air kran. Padahal aku tahu itu adalah hal yang mudah untuk dilakukan. Namun, selalu saja sifat lupa itu singgah dalam diriku. Akibatnya, ibu memarahiku lagi. Tapi yang membuatku sedih ibu tidak memarahiku dengan membentak melainkan dengan menangis. Oh, aku paling tidak bisa melihat tangisan ibu. Bodohnya aku ini. Rasanya ingin mati saja.
Ah oh, tapi bukankah sudah lama aku memikirkan tentang kematian ini? Sejak ayahku tidak ada, kata-kata "Ah, lebih baik mati saja" sudah tak terhitung berapa kali aku ucapkan. Teman sebangkuku sampai jenuh mendengarnya. Ya, aku mengatakan kata-kata itu tidak hanya pada diriku sendiri. Dulu ketika aku masih berumur sebelas tahun, kira-kira enam tahun yang lalu, aku sering dibuat jengkel dengan hal-hal yang tidak penting di sekolah. Dan, kata-kata itu selalu muncul di akhir kekesalanku.
Tapi sampai hari ini aku masih hidup. Aku rasa Tuhan belum cukup yakin dengan keinginanku itu. Atau mungkin sebenarnya aku sudah mati? Dan orang-orang di sekitarku sekarang ini adalah orang-orang mati? Tetapi mengapa jantungku masih berdetak? Ah, persetan dengan pikiran ini. Aku tahu aku memang masih hidup.
Sekarang apa yang harus kulakukan? Mengamati tanaman ini sampai benar-benar mati? Emm, kedengarannya seru. Tapi tidak bisa, aku tidak punya banyak waktu untuk melakukannya. Uncle Syn akan datang dan mengajakku jalan-jalan. Aku tidak akan menyiakan kesempatan ini. Mungkin dengan pergi bersamanya akan membuatku sedikit menghilangkan rasa bersalahku.
"Evellyn, pamanmu sudah datang. Kau jadi pergi dengannya tidak?".
Suara ibu mengagetkanku. Sepertinya ia sudah melupakan kejadian kemarin. Aku memang belum minta maaf. Bagiku kata maaf hanya omong kosong. Aku takkan pernah tahu jika besok aku akan melakukannya lagi. Karena itu aku lebih memilih untuk merenungi kesalahanku di belakang rumah ini dan berharap aku besok tidak akan mengulanginya lagi.
"Ya, bu. Aku segera datang."
Aku masuk dan mengambil ransel yang sudah aku siapkan. Mencium tangan ibu dan mencubit pipi Jenny kecil yang menggemaskan. Lalu menghampiri Uncle Syn.
"Jannet, aku pinjam anakmu dulu. Kami akan pulang sebelum sore hari."
"Ya, hati-hatilah. Oh! Jangan masukkan kertas itu ke mulutmu, Jenny!"
Bersambung...
Bersambung...
No comments:
Post a Comment